REVIEW NOVEL RINDU TERE LIYE
Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Ukuran : 13,5 x 20,5 cm
Tebal : ii + 544 halaman
ISBN : 978-602-8997-90-4
Tere Liye adalah salah satu penulis yang produktif beberapa tahun
belakangan ini. Buku-bukunya banyak dibeli, dan quotes-quotes yang ada
di fanspagenya banyak yang menyebarkan. Kali ini, novelnya cukup berbeda
dari novel sebelumnya, walau masih ada satu garis yang sama, yaitu
tentang keluarga yang sempurna dengan anak-anak perempuan yang lucu.
Kebaruan Tere Liye di novel ini ada pada setting. Fokus cerita pada
kapal besar di tahun 1938. Kapal yang akan menuju Jeddah, membawa ribuan
penumpang yang berhasyrat menunaikan ibadah suci.
Tak mudah untuk menulis novel dengan setting seperti itu kecuali
memalui riset yang mendalam, sehingga detail-detailnya tidak terlihat
ganjil. Di sini saya merasakan keganjilan tersebut. Panggilan Anna dan
Elsa ke orangtuanya adalah Mama dan Papa. Menurut saya aneh panggilan
seperti itu di tahun itu. Walau orangtua mereka menempuh pendidikan di
Belanda, tetap saja saya merasa aneh dengan panggilan tersebut. Tidak
lazim. Selain itu saya juga meemukan keganjilan kecil yang sifatnya
minor dan bisa diabaikan. Selebihnya settingnya menarik.
Saat membaca novel saya membutuhkan cerita, bukan ceramah, oleh sebab
itu pesan-pesan moral disampaikan melalui gerak laku, bukan ucapan,
yang mirip ustadz atau pemuka agama. Tetapi seperti banyak pembaca
Indonesia yang suka diceramahi bahkan oleh novel, karena itu novel-novel
seperti ini cukup laku. Pun tulisan Tere Liye. Seperti novel sebelumnya
“Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah” ceramah itu hadir melalui lelaki
tua. Di novel ini si tukang ceramahnya adalah Gurutta. Ada lima
pertanyaan, dan lima jawaban. Empat jawaban disampaikan secara lisan
dengan penjelasan-penjelasan, mirip ceramah. Dan sungguh saya kurang
suka seperti itu. Saya lebih suka pesan-pesan moral itu tersirat. Atau
disampaikan dengan tindakan.
Pesan-pesan moral yang disampaikan dengan dialog itu terasa
menjemukan bagi saya, saya men-skip bagian-bagiannya, karena memang tak
suka diceramahi, saya butuh cerita. Tetapi di pertanyaan kelima, Tere
liye menggunakan tindakan sebagai penjelas dan itu sungguh bagus.
Apalagi penjelasan itu berada dibagian paling seru di sepanjang novel
ini. Di Bagian menjelang akhir.
Penempatan Ending dan Klimaks itu pun bagus. Tak terlalu jauh jaraknya sehingga masih menimbulkan kesan selepas membaca.
Ada satu keresahan lagi selama membaca ini, yaitu kata hembus yang
sering digunakan tere Liye. Dalam ejaan terbaru, yang benar adalah
embus, bukan hembus. Saya mengira ini typo, tapi itu tak terjadi satu
dua kali, namun sepanjang kata embus, Tere Liye memakai hembus dan
turunannya; hembusan, menghembus, dll. Seharusnya bagi penulis yang
produktif seperti Tere Liye, tahu kata baku tersebut, atau
proofreadernya, atau editornya. Dan ini merupakan kesalahan yang
harusnya tidak perlu.
Good job! Keep blogging to share the good thing :)
BalasHapusmakasih miss ratna,
BalasHapus