Selasa, 06 Januari 2015

REVIEW NOVEL- RINDU-TERE LIYE

 REVIEW NOVEL RINDU TERE LIYE

Judul        : Rindu
Penulis    : Tere Liye
Penerbit  : Republika
Ukuran   : 13,5 x 20,5 cm
Tebal      : ii + 544 halaman
ISBN      : 978-602-8997-90-4


Tere Liye adalah salah satu penulis yang produktif beberapa tahun belakangan ini. Buku-bukunya banyak dibeli, dan quotes-quotes yang ada di fanspagenya banyak yang menyebarkan. Kali ini, novelnya cukup berbeda dari novel sebelumnya, walau masih ada satu garis yang sama, yaitu tentang keluarga yang sempurna dengan anak-anak perempuan yang lucu. Kebaruan Tere Liye di novel ini ada pada setting. Fokus cerita pada kapal besar di tahun 1938. Kapal yang akan menuju Jeddah, membawa ribuan penumpang yang berhasyrat menunaikan ibadah suci.

 
Tak mudah untuk menulis novel dengan setting seperti itu kecuali memalui riset yang mendalam, sehingga detail-detailnya tidak terlihat ganjil. Di sini saya merasakan keganjilan tersebut. Panggilan Anna dan Elsa ke orangtuanya adalah Mama dan Papa.  Menurut saya aneh panggilan seperti itu di tahun itu. Walau orangtua mereka menempuh pendidikan di Belanda, tetap saja saya merasa aneh dengan panggilan tersebut. Tidak lazim. Selain itu saya juga meemukan keganjilan kecil yang sifatnya minor dan bisa diabaikan. Selebihnya settingnya menarik.
Saat membaca novel saya membutuhkan cerita, bukan ceramah, oleh sebab itu pesan-pesan moral disampaikan melalui gerak laku, bukan ucapan, yang mirip ustadz atau pemuka agama.  Tetapi seperti banyak pembaca Indonesia yang suka diceramahi bahkan oleh novel, karena itu novel-novel seperti ini cukup laku. Pun tulisan Tere Liye. Seperti novel sebelumnya “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah” ceramah itu hadir melalui lelaki tua. Di novel ini si tukang ceramahnya adalah Gurutta. Ada lima pertanyaan, dan lima jawaban. Empat jawaban disampaikan secara lisan dengan penjelasan-penjelasan, mirip ceramah. Dan sungguh saya kurang suka seperti itu. Saya lebih suka pesan-pesan moral itu tersirat. Atau disampaikan dengan tindakan.
Pesan-pesan moral yang disampaikan dengan dialog itu terasa menjemukan bagi saya, saya men-skip bagian-bagiannya, karena memang tak suka diceramahi, saya butuh cerita. Tetapi di pertanyaan kelima, Tere liye menggunakan tindakan sebagai penjelas dan itu sungguh bagus. Apalagi penjelasan itu berada dibagian paling seru di sepanjang novel ini. Di Bagian menjelang akhir.
Penempatan Ending dan Klimaks itu pun bagus. Tak terlalu jauh jaraknya sehingga masih menimbulkan kesan selepas membaca.
Ada satu keresahan lagi selama membaca ini, yaitu kata hembus yang sering digunakan tere Liye. Dalam ejaan terbaru, yang benar adalah embus, bukan hembus. Saya mengira ini typo, tapi itu tak terjadi satu dua kali, namun sepanjang kata embus, Tere Liye memakai hembus dan turunannya; hembusan, menghembus, dll. Seharusnya bagi penulis yang produktif seperti Tere Liye, tahu kata baku tersebut, atau proofreadernya, atau editornya. Dan ini merupakan kesalahan yang harusnya tidak perlu.

2 komentar: